Selasa, 29 Juli 2008

Episode 2

Sudah hampir dua puluh ember air yang ditimba oleh Damian. Lelah..

Damian : “Lucifer.. sudah, ya..?”

Wajahnya yang penuh keringat nampak memelas.

Lucifer : “Kau lelah?”

Damian menganggukkan kepala.

Lucifer : “Damian.. kemarilah..”

Dengan senangnya, Damian meninggalkan sumur itu dan duduk bersama Lucifer.

Lucifer : “Apa kau.. pernah jatuh cinta?”

Damian menggelengkan kepala.

Damian : “Tidak..”

Lucifer : “Pantas saja, kau dengan tanpa perasaan membuat Sinead hampir saja meninggalkanku.”

Nada bicaranya terdengar sangat kesal. Lalu, ia menghela nafas panjang. Mencoba memaklumi sifat dan sikap Damian, yang masih sangat hijau.

Lucifer : “Sebaiknya.. kau coba jatuh cinta pada seorang wanita. Kau pasti akan merasakan apa yang ku rasakan saat ini pada Sinead.”


Sampai pulang ke istana, Damian masih memikirkan kata-kata Lucifer tadi.

Damian : “Jatuh cinta? Bagaimana ya, rasanya?”

Ia duduk di balkon kamarnya. Melihat malam yang hening.


Rose dan ayah-ibunya pindah ke Dublin, Irlandia. Menempati sebuah rumah kecil, yang letaknya menyendiri, dari rumah-rumah lain. Di belakang rumah itu, tumbuh sebuah pohon eboni yang sangat lebat.

Rose : “Inikah Irlandia? Indah sekali, Ayah..”

Ia begitu takjub akan keindahan di sekeliling rumah barunya.

John : “Ya.. ini adalah negeri kelahiranmu.”

Rose memandangi savanna yang terbentang luas di bawah lereng pegunungan Kerry, tempat mereka akan tinggal. Dan di tengah-tengahnya ada sebuah danau yang sangat indah. Airnya nampak tenang. Bayangan awan yang menyentuh permukaannya, terlihat begitu menawan.

Tanya : “Ibu harap, kau betah tinggal di sini.”

Rose : “Tentu saja aku betah, Bu. Tempat ini sangatlah indah.”

John : “Hm.. ayah harus cari kayu bakar. Untuk memasak nanti malam. Kalian beres-beres rumah saja.”

Tanya : “Baik. Tapi.. jangan pulang terlalu malam.”


Rupanya, John pergi ke istana, menemui ratu Dominique.

Dominique : “Apa yang sedang kau lakukan di Irlandia ini?”

Ratu itu duduk di sebuah singgasana yang amat megah. Ekspresinya datar-datar saja. Namun, tak ada yang mengira, bahwa hatinya sangat terkejut melihat kedatangan John.

John : “Saya ingin minta sedikit belas kasihan anda..”

Dominique : “Apa maksudmu..?”

Ia mengerutkan keningnya. Terlihatlah kerutan di wajahnya. Menunjukkan, bahwa ia tak lagi muda, dan juga belum terlalu tua.

John : “Anak anda butuh biaya untuk hidup. Dan saya tidak sanggup lagi membiayainya. Saya sudah tidak punya pekerjaan.”

Dominique paham maksud John. Ia menyuruh Rah Digga menyiapkan sekotak emas batangan.

Dominique : “Apa.. ini cukup?”

John : “Sudah lebih dari cukup. Terimakasih, Yang Mulia..”


John menyimpan hartanya di bawah pohon, di belakang rumahnya. Ia menggali tanah sangat dalam. Hanya ia saja yang tau.

Rose melanjutkan sekolahnya di bidang keperawatan. Setiap hari, ia berjalan kaki pergi ke sekolah.

Ada yang menarik di sekolah barunya. Sekolah itu kedatangan tamu agung. Jean, putri kerajaan, dan Ramona, selir ke empat raja.

Yang menarik perhatian Rose adalah Ramona. Wanita itu.. yang sering ia lihat di London. Wanita cantik dan anggun yang dikagumi oleh Rose.

Jean : “Kami kemari untuk melihat calon perawat istana. Kami ingin yang benar-benar berkualitas.”

Ramona : “Iya. Kami ingin, minggu depan mereka sudah harus masuk ke istana.”

Kepala perawat Lamarque tersenyum.

Lamarque : “Baik, Yang Mulia..”

Ternyata, Rose tak sengaja mendengar pembicaraan mereka.. Berarti, dengan sekolah menjadi perawat, bisa masuk istana.

Rose : “Ini pasti akan sangat menyenangkan..”


Rose berlari pulang, dan memberitau ibunya. Saking senangnya, baru membuka pintu, tanpa basa-basi, ia langsung mengutarakan keingannya.

Rose : “Bu, aku ingin masuk istana. Menjadi perawat keluarga kerajaan.”

Mata gadis itu berbinar-binar. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang cantik.

Tanya kaget mendengarnya. Ia segera menyudahi pekerjaannya.

Tanya : “Apa? Masuk ke istana?”

Mendadak, ia jadi lemas.

Rose : “Iya, Bu..”

Binaran matanya, juga senyum lebarnya belum sekali pun pudar. Malah semakin menjadi.

Tanya mengajak Rose duduk, setelah ia agak tenang.

Tanya : “Rose, dengarkan ibu baik-baik.”

Ia mulai bicara dengan hati-hati.

Rose memandang ibunya dengan perasaan heran. Binaran matanya, juga senyuman lebarnya mendadak hilang. Diganti dengan ekspresi heran dan penasaran.

Tanya : “Kau tidak boleh masuk ke istana. Tidak boleh.”

Jari telunjuknya yang lentik, menunjuk-nunjuk Rose. Tangannya tampak gemetar.

Rose : “Memangnya kenapa, Bu?”

Ia masih bingung. Ia memandangi sang ibu, dengan penuh rasa penasaran.

Tanya : “Karena, tempat itu bukan untukmu. Kau, tidak pantas masuk ke sana.”

Rose : “Aku.. tidak mengerti.”

Tanya : “Mulai besok, kau tidak usah sekolah lagi. Mengerti?”

Rose : “Kenapa, Bu?”

Ia mulai meneteskan air mata.

Tanya : “Pokoknya, kau tidak boleh sekolah lagi. Berhentilah bertanya!”

Suaranya yang lembut mulai meninggi namun kelembutannya tetap menghiasi.

Rose tidak dapat menahan rasa sedih dan emosinya. Ia berlari ke luar rumah. Menerjang angin dan menjatuhkan kesedihannya pada rerumputan hijau. Menangis sejadi-jadinya.

Rose : “Apa yang membuatku tidak pantas masuk istana? Apa karena aku miskin dan jelek?”

Ia berdiri dan berlari lagi menuruni lereng perbukitan. Menangis dan menangis.


Tanya sendiri juga sangat sedih. John baru pulang dari berburu.

John : “Sayang.. ada apa?”

Ia disambut oleh pemandangan sedih dari istrinya.

Tanya : “Rose.. dia ingin masuk istana menjadi perawat. Aku melarangnya. Dan kini ia pergi entah ke mana.”

John : “Kau sudah benar, Tanya. Biar dia meredakan emosinya dulu. Nanti dia pasti pulang.”


Damian dan Leigh memacu kuda mereka ke lereng pegunungan Kerry, dan sampai di tepi danau.

Damian : “Kita memancing saja.”

Ia menyiapkan alat memancing, yang ia bawa dari istana.

Leigh : “Memancing? Owh.. Damian, itu pasti akan sangat membosankan..”

Damian : “Ya.. kalau kau tidak mau, tidak apa-apa.”

Leigh melihat-lihat ke sekeliling danau dengan membawa senapan. Siapa tau ada rusa lewat..

Benar! Ia melihat seekor rusa merebahkan dirinya di rerumputan. Ada yang aneh dengan rusa itu. Maka, ia memanggil Damian dulu.

Leigh : “Damian, ada rusa warna putih, yang sangat besar.”

Ia melukiskan besarnya rusa itu, dengan kedua tangannya yang membentuk lingkaran yang besar juga. Dan itu membuat Damian penasaran, dan tertarik untuk melihatnya.

Damian : “Mana? Ayo, kita buru dia.”

Ia terlihat tak sabaran.

Leigh pun menunjukkannya pada Damian.

Damian : “Kau yakin, itu rusa? Bukan rubah?”

Mereka melihat seekor makhluk berbulu putih yang sangat indah. Merebahkan diri di balik rumput dan pepohonan yang tinggi. Jadi, tidak tampak seluruh badannya.

Leigh : “Aku juga bingung. Tembak saja, lah.. Kalau itu rubah, bulunya sangat indah.. tapi kalau itu rusa, bisa kita makan dagingnya.”

Damian : “Baiklah..”

Damian mulai membidik makhluk berbulu indah itu.

Saat ia menarik pelatuknya, dan melepaskan peluru, tiba-tiba makhluk yang ternyata manusia perempuan cantik itu berdiri. Peluru itu menembus dada gadis tersebut.

Damian dan Leigh benar-benar terkejut. Keduanya langsung menghampiri gadis tersebut.

Damian : “Leigh, bagaimana ini?”

Leigh ikutan bingung. Gadis itu sudah tidak sadarkan diri. Tapi masih bernafas.

Leigh : “Kita bawa dia ke tempat Lucifer.”

Ide itu spontan meluncur dari mulut Leigh. Karena tidak tau lagi harus berbuat apa.


Lucifer benar-benar terkejut, melihat Damian dan Leigh membawa mayat seorang perempuan ke rumahnya.

Lucifer : “Kenapa kalian membawanya ke rumahku? Kalian ingin aku dapat mslh besar, ya?!”

Ia ikut panik.

Leigh : “Damian.. ini masalah besar. Kalau sampai dia mati.. kau.. akh! Aku tidak tega mengatakannya.”

Damian : “Ini semua kan gara-gara kau. Sudah, jangan bicara lagi. Sekarang, kita harus menolongnya.”

Damian segera pulang ke istana, mencari Dr. Isaac, yang senantiasa mau menyembunyikan kenakalan Damian. Semoga dia juga mau membantu Damian menyembunyikan masalah sebesar ini.

Dr. Isaac terkejut, saat mengetahui, apa yang sudah dilakukan oleh Damian. Sudah palang merah. Alias parah sekali.

Dr. Isaac : “Damian, bagaimana kalau Yang Mulia Raja tau, tentang hal ini?”

Damian : “Sudahlah.. jangan banyak bicara. Sekarang, kau tolong dia.. jangan sampai mati.”

Dr. Isaac segera memeriksa keadaan gadis itu. Untung saja, peluru yang digunakan bukan timah panas, atau mesiu. Tapi peluru karet. Dan tidak kena organ tubuh. Tapi, ia mengeluarkan banyak darah. Jika dalam dua hari tidak dapat donor, ia bisa mati.

Damian dilanda kebingungan yang serius. Ia tidak ingin gadis itu mati.

Damian : “Aku akan cari keluarganya.”

Ia segera kembali ke lereng pegunungan Kerry, dan menanyai orang-orang di sana.

Damian : “Apakah anda punya putri yang kira-kira berusia 17 tahun dan dia berambut cokelat? Matanya biru.”

Pemilik rumah mengatakan tidak.

Semua rumah sudah ditanyai. Tapi tidak satu pun yang mengatakan ‘iya’.

Damian hampir putus asa. Ia berjalan di pinggiran danau, tempat gadis itu tertembak. Di kejauhan, ia melihat rumah kecil di bawah pohon eboni yang lebat. Rumah itu terlihat menyendiri, dan tidak ada tetangganya. Damian segera ke sana.

Sepasang suami-istri tinggal di rumah itu.

Damian : “Ng.. apakah.. di sini tinggal seorang gadis berusia 17 tahun, dan terkahir pergi memakai baju putih? Rambutnya cokelat, dan matanya biru.”

Si istri mengiyakan.

Damian : “Dia.. tertembak, dan sekarang dalam keadaan kritis.”

Ia menyampaikan berita itu dengan singkat, padat, dan jelas. Tanpa basa-basi berlebihan.

Dan, berita itu otomatis membuat pasangan suami-istri itu nampak terkejut. Amat sangat terkejut.

Episode 1

1820 Dublin, Ireland

Lincoln amat bahagia. Karena, dua bulan lagi, ia akan memiliki anak yang akan menjadi putra mahkota.

Dominique dan Monalisa memang tengah hamil tua. Kedua istri Lincoln, yang salah satunya nanti berhak menjadi permaisuri yang agung. Syaratnya, harus melahirkan anak laki-laki duluan.

Suatu hari, Dominique didatangi oleh seorang wanita bernama Rah Digga. Ia peramal yang datang jauh dari luar kota Dublin. Ia mengagumi Dominique, dan ingin Dominique jadi permaisuri.

Rah Digga : “Dengan berat hati, hamba katakan.. bahwa anda akan menjadi permaisuri dengan cara anda sendiri.”

Dominique : “Apa maksudmu?”

Rah Digga : “Anak anda akan segera lahir. Tapi.. dia bukan laki-laki..”

Dominique terkejut. Ia sudah berambisi menjadi permaisuri sejak awal menikah dengan Lincoln.

Dominique : “Lalu.. apa yang harus aku lakukan?”


2 bulan kemudian..

Dominique melahirkan terlebih dulu. Ramalan Rah Digga benar. Ia melahirkan seorang bayi perempuan. Tapi.. Dominique dan Rah Digga sudah mengatur segalanya.

Rah Digga telah menyiapkan bayi laki-laki yang baru lahir, dan menukarnya dengan bayi perempuan Dominique.


Monalisa melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik, bernama Jean.

Bagaimana nasib bayi perempuan Dominique yang entah ada di mana sekarang ini..?


17 Tahun Kemudian


1837 London, UK


Ivan : “Gaun ini adalah rancangan terbaru saya. Pasti anda akan terlihat sangat cantik.”

Ia menunjuk sebuah gaun yang dipajang di ruangan butiknya. Dengan lemari yang bercat merah muda, gaun berwarna putih itu terlihat sangat anggun dan elegan.

Wanita yang dipuji itu pun tersenyum.

Dari luar jendela kaca, seorang gadis muda melihat mereka. Ia menempelkan kedua tangannya ke kaca, agar sinar matahari pagi yang menyilaukan itu, tidak menghalangi panadngannya.

Rose : “Aku ingin bisa seperti wanita itu.”

Kemudian..

“Rose! Ayo, cepat!”

Temannya yang sesama gadis muda menarik tangannya.

Livia : “Kita tidak boleh terlambat lagi. Nanti kita dihukum. Dan aku tidak mau itu terjadi.”

Rose : “Iya, aku tau. Kau jangan bicara lagi.”

Mereka berdua berjalan melewati jalanan yang basah. Semalam hujan memang turun membasahi kota ini, tapi tidak begitu deras. Hanya gerimis, dan baru berhenti subuh tadi.


Rose dan Livia bersekolah di sebuah lembaga pendidikan mahasiswa, untuk warga yang tidak mampu.

Rose dan Livia tinggal di pinggiran kota London. Orang tua Rose, John dan Tanya Tucker, adalah sepasang suami-istri sederhana dan bersahaja. John bekerja di tambang batu mulia. Sedangkan Tanya, ibu rumah tangga biasa yang baik dan lembut.


Lagi-lagi, Rose dan Livia terlambat. Karena jarak antara rumah mereka dengan tempat mereka sekolah, agak jauh.

Ms. Frida, guru kelas mereka sudah menyambut bersama sebilah rotan yang diayun-ayunkan di tangannya.

Ms. Frida : “Alasan apa yang bisa kalian katakan padaku, kenapa kalian terlambat lagi?”

Livia berdiri di belakang Rose.

Ms. Frida : “Ayo, jawab!”

Rose : “Ma, maafkan kami. Ng.. ini salah saya. Tadi, waktu kami berangkat sekolah, saya melihat seorang wanita cantik di butik Tuan Ivan. Saya benar-benar kagum. Hingga tak menyadari, kalau sudah siang.. saya benar-benar mengagumi kecantikannya, dengan gaun yang indah.. sekali.”

Rose hanyut dalam lamunan. Namun, sentuhan kasar rotan yang menempel pada kakinya, membuat lamunan itu buyar seketika.

Jalanan kota London sedang ramai dengan atraksi karnaval. Menjadi iring-iringan kereta kencana milik Ratu Elizabeth.

Rose dan Livia baru pulang sekolah, dan menonton atraksi tersebut. Sederet pasukan drum band
memainkan drum dan terompet dengan lagu yang semarak.

Gadis-gadis akrobat sedang memeragakan atraksi mereka, dan membentuk formasi-formasi yang keren.

Rose : “Wah.. bagus sekali!”

Lalu, Rose melihat seorang wanita di dalam salah satu kereta kencana. Wanita itu yang tidak di butik Tuan Ivan. Cantik sekali.

Saat Rose tengah hanyut dalam lamunannya, tiba-tiba..

“Awas!!”

Seorang pemuda menyambar tubuh Rose, dan mereka sama-sama jatuh ke trotoar.

Rose : “Aduh!!”

Ia memegangi lengan kanannya. Sikunya berdarah. Bajunya kotor terkena lumpur.

Rose : “Kau ini.. apa-apaan?!”

Livia menghampiri mereka.

Livia : “Rose.. Kau tidak apa-apa?”

Ia membantu Rose berdiri.

Rose : “Kalau bukan karena dia.. aku pasti sudah baik-baik saja.”

Ia menunjuk pemuda itu, dengan tidak lembut. Ia benar-benar sangat kesal.

Livia : “Maksudmu..?”

Rose : “Dia mendorongku..!”

Pemuda itu sibuk menyangkal. “Bukan begitu, Nona.. tadi.. kau..”

Livia : “Tadi, kau hampir saja ditabrak kereta kuda. Untung saja, dia menolongmu.”

Pemuda itu tersenyum. Lega rasanya, karena Livia menjelaskan yang sebenarnya.

Rose menatap pemuda itu.

Rose : “Ya sudah.. terimakasih.”

Ia tetap tidak ramah pada pemuda tersebut. Lalu menggandeng Livia, dan pergi.

John dan Tanya Tucker sedang terlibat obrolan serius di rumah kecil mereka.

John : “Aku dipecat.”

Raut wajahnya yang keriput, semakin mengkerut, dilanda rasa sedih.

Tanya : “Apa?! Kenapa bisa begitu?”

Ia duduk di samping sang suami.

John : “Ya.. karena aku sudah tua dan lamban.”

Ditatapnya sang istri dengan mata merahnya, yang menunjukkan lelah dan penat sedang melingkupi ruang jiwanya.

Tanya : “Hanya karena itu? Lalu.. apa rencanamu?”

Wanita itu mencoba mencari solusi untuk masalah ini.

John : “Kita kembali ke Irlandia.”

Solusi yang tepatkah? Pertanyaan itu muncul di benak Tanya. Menurutnya, kembali ke Irlandia, sama saja dengan bunuh diri.

Tanya : “Kau sudah gila? Kita tidak bisa kembali ke sana.”

Suaranya mulai meninggi. Namun, suaminya tetap menyabarkan hatinya.

John : “Dengarkan aku, Sayang.. Dengan kembali ke Irlandia, kita bisa dapat banyak uang tanpa harus bekerja. Kau pasti sudah tau bagaimana caranya.”

Tanya terdiam. Lalu tersenyum.

Tanya : “Ya.. ya.. kalau begitu, aku setuju.”


Dublin, Irlandia

Suara derapan langkah kaki kuda menggema di padang rumput di lereng Pegunungan Kerry.

Damian, si putra mahkota Kerajaan Irlandia, sedang melakukan aktivitas berburunya, bersama sahabatnya, Leigh. Mereka dapat seekor rusa yang besar.

Damian : “Berburu kita minggu kemarin tidak dapat apa-apa.”

Leigh : “Tapi, dijadikan satu dengan hari ini..”

Mereka tertawa.

Dari lereng Pegunungan Kerry, menuju istana sebenarnya tidak begitu jauh. Tapi, dasar Damian yang
nakal, ia suka keluyuran, dan tidak langsung kembali ke istana.

Leigh : “Damian, sebaiknya kita kembali ke istana saja.”

Damian : “Iya, nanti kita pulang setelah bersenang-senang.”

Damian memacu kudanya ke desa Ballsbridge. Sebenarnya tidak layak disebut desa, karena tempatnya sangat mewah, di pertengahan kota.

Di sana ada sebuah bar favorit Damian. Namanya L’s Bar. Sebenarnya, Damian belum cukup umur masuk ke bar. Usianya masih 17 tahun. Tapi, Lucifer, si pemilik L’s Bar itu adalah teman baik keluarga kerajaan. Ia terpaksa mengizinkan Damian masuk barnya, dan minum Whiskey, atau sekedar meneguk segelas Martini dingin.

Hari itu, Lucifer kedatangan seorang tamu wanita. Namanya Sinead. Dia kekasih Lucifer.

Melihat Lucifer dan Sinead bermesrahan membuat Damian. Ingin berbuat jahil. Damian mendekati Sinead dan berkata.

Damian : “Hai, Nona.. apa benar, kau menyukai Lucifer?”

Ia memulai kejahilannya dengan sebuah pertanyaan yang menggelitik. Dengan suaranya yang masih seperti anak kecil, yang di sok dewasakan.

Sinead : “Tentu saja. Kenapa memangnya?”

Wanita itu menjawab dengan senyuman malu-malu, dan wajah yang merah merona.

Damian : “Perlu kau tau.. Lucifer itu, sudah memilih calon istrinya. Dia sangat cantik. Namanya Trinidad. Kalau dibandingkan denganmu.. kau terlihat biasa saja.”

Wajah Sinead yang tadinya merah merona, berubah jadi merah padam. Rasa malu-malunya pun berbalik jadi amarah yang naik ke ubun-ubun.

Lalu..

Sinead : “Lucifer!!”

Ia menghampiri Lucifer yang sedang melayani tamunya.

Lucifer : “Ada apa, Sayang?”

Ia menyahut dengan senyuman manis dan suara yang super mesrah.

Tapi.. Byurr!! Segelas bir disiramkan ke wajahnya, oleh Sinead.

Sinead : “Rasakan itu!”

Wajahnya masih merah padam. Seperti seekor banteng, yang hidung dan telinganya keluar uap.

Lucifer : “Sa, sayang.. ada apa ini?”

Sinead : “Siapa itu Trinidad?”

Ia sama sekali tidak lembut.

Lucifer : “Ibuku.”

Sinead : “Bohong! Dia calon istrimu yang sangat cantik itu, kan?”

Lama-lama ia jadi gemas, saking kesalnya.

Lucifer melotot. Ia bingung dengan yang dikatakan oleh Sinead. Lalu, ia mendengar suara tawa. Itu tawa Damian. Lucifer mengampirinya, sambil menarik tangan Sinead. Matanya melotot. Ia sangat marah.

Lucifer : “Damian..!!”

Damian : “Huaaahhh..!!”

Suara Lucifer sangat memekakan telinga.

Damian : “Ampuni aku, Lucifer..”

Lucifer membuat Damian harus menimba air sumur, di belakang bar. Sedangkan Lucifer sendiri kembali bermesrahan dengan Sinead, yang sudah tau, kalau Damian itu jahil sekali.

Hingga Sinead pulang, dia tidak juga menyuruh Damian berhenti melakukan itu.